Sejarah Desa

SEJARAH ASAL USUL DESA LERAN KECAMATAN SENORI

Pada masa pemerintahan Bupati Cirosumo, Bupati Tuban, wilayah Tuban dan sekitarnya khususnya Tuban Selatan sedang dilanda huru-hara, yaitu merajalelanya aksi ‘kejahatan’ Noyo Gimbal. Tak berbilang aksi perampokan yang telah dilakukannya sehingga meresahkan masyarakat luas khususnya kalangan hartawan, tuan-tuan tanah. Karena aksi-aksi yang dilakukannya itulah sehingga kepadanya diberikan julukan “Brandal Noyo Gimbal”.

Sebenarnya sudah berbagai usaha dilakukan untuk menumpas atau setidaknya mengendalikan aksi-aksi Noyo Gimbal. Namun, sejauh itu usaha-usaha tersebut belum membuahkan hasil. Bahkan aksi-aksi Noyo Gimbal semakin menjadi-jadi. Hal tersebut semakin menimbulkan keprihatinan yang mendalam dikalangan penguasa pemerintahan kabupaten Tuban. Puncak keprihatinan itu adalah dikeluarkannya sayembara oleh bupati Tuban. Bunyi sayembara itu adalah “Bahwa barang siapa yang mampu menghentikan atau menumpas aksi ‘kejahatan’ Noyo Gimbal kepadanya akan diberikan 1/5 dari wilayah kabupaten Tuban. Bahkan dalam versi lain 1/3 dari wilayah Tuban.

Konon, tersebut lah seorang pemuda pengembara dari Brang Wetan, tepatnya dari daerah Lumajang bernama Sowiryo atau Kerto Wijoyo atau lebih dikenal dengan nama besarnya “Kendil Wesi”. Demi menyaksikan keresahan yang melanda masyarakat luas akibat ulah Noyo Gimbal, tergeraklah hatinya untuk ikut ambil bagian dalam sayembara tersebut. Mendaftarlah Kendil Wesi sebagai peserta sayembara. Sejak itu resmilah dia menjadi utusan (Senopati) Bupati Citrosomo untuk menumpas Noyo Gimbal.

Perburuan terhadap Noyo Gimbal pun dimulailah. Berdasarkan laporan telik sandi diperoleh informasi bahwa Noyo Gimbal sering mesanggrah ‘tinggal sementara untuk istirahat’ (Leren) di suatu lembah di sebelah utara pegunungan kapur yang berada paling selatan wilayah Tuban. Ternyata tidak hanya Noyo Gimbal lembah ini pun sering menjadi tempat mesanggrah para pengembara dari berbagai tempat.

Pada suatu hari berhasillah Kendil Wesi, Sang Senopati, mendapatkan Noyo Gimbal di lembah tersebut. Kendil Wesi berusaha menasehati Noyo Gimbal dengan baik-baik agar insyaf dan kembali ke jalan yang benar, sehingga tidak perlu menjadi pertumpahan darah lagi. Namun, rupanya nasehat itu tak diacuhkannya. Maka pertempuran diantara keduanya tak lagi dapat dihindarkan.

Dengan gagah berani dan jiwa kesatrianya Kendil Wesi menggempur Noyo Gimbal. Sebaliknya, dengan segala ketidakdayaan yang dimiliki Noyo Gimbal meladeni gempuran Sang Senopati. Keduanya secara bergantian saling menyerang dan menghindar. Karena keduannya sama-sama sakti, pertempuran itu pun berlangsung sangat lama, sehingga tempat pertempuran yang basah itu seperti ‘dikebur-kebur’ (diaduk-aduk). Sejak berlangsungnya pertempuran antara Kendil Wesi dan Noyo Gimbal sampai sekarang tempat itu diberi nama KEBURAN.

Setelah sekian lama bertempur akhirnya Kendil Wesi berhasil melukai Noyo Gimbal. Darah mengucur dari Noyo Gimbal, membasahi sebagian tanah disisi sebelah Barat medan pertempuran. Tanah yang terkena tetesan darah Sang berandal itu sampai sekarang apabila dicangkul (diambil) oleh seseorang, orang tersebut akan terkena penyakit gatal. Konon ada yang mengatakan bahwa darah yang menetes dari tubuh Noyo Gimbal adalah darah putih. Darah suci. Karena sesungguhnya orang-orang yang dirampok oleh Noyo Gimbal adalah hartawan, tuan-tuan tanah yang menjadi antek ‘kaki tangan’ Belanda. Sementara oleh Noyo Gimbal hasil rampokan itu dibagi-bagikannya kepada orang-orang kecil yang hidupnya sengsara.

Akhirnya, karena merasa semakin terdesak Noyo Gimbal berlari ke arah Timur, meninggalkan medan pertempuran. Sang Senopati tidak tinggal diam. Demi melihat musuhnya kabur, ia pun terus memburunya. Tidak seberapa, lama, di bukit yang tidak terlalu jauh dari medan pertempuran sebelumnya, Kendil Wesi berhasil mengejar Noyo Gimbal pertempuran kembali terjadi. Namun, kali ini tidak seseru sebelumnya karena Noyo Gimbal dalam kondisi terluka. Semakin lama Noyo Gimbal semakin terdesak. Pertahanannya semakin rapuh. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kali ini Noyo Gimbal benar-benar mengalami nasib sial. Kendil Wesi berhasil membunuhnya. Kepala Noyo Gimbal dipenggal dan ditancapkan di atas ujung tombak. Untuk beberapa lama kepala itu dibiarkan terpanggang dibawah sinar matahari sebelum akhirnya bersama tubuhnya dikebumikan di Bleboh (sekarang termasuk wilayah kabupaten Blora). Sejak peristiwa itu sampai sekarang tempat menancapkan kepala Noyo Gimbal tersebut diberi nama SEDENDENG. (Dendeng : daging yang dikeringkan dibawah sinar matahari).

Sebagai penghormatan atas jasa-jasa Kendil Wesi yang telah berhasil mengakhiri petualangan Noyo Gimbal, sebagaimana janjinya, Bupati Citrosomo menyerahkan wilayah Tuban Selatan kepada Sang Senopati. Dalam suatu upacara resmi Kendil Wesi diarak Bonang Renteng untuk menancapkan batas wilayah Tuban - Blora yang sekarang, sebagai batas wilayah kekuasaan yang dianugrahkan kepadanya.

Sejak saat itu lah daerah lembah yang sering menjadi pesanggrahan Noyo Gimbal dan para pengembara lainnya itu dinamakan : LERAN.

 

DAFTAR KEPALA DESA LERAN SENORI DARI MASA KE MASA